Berbelanja online sudah menjadi hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Cukup dengan membuka smartphone atau laptop, seseorang sudah bisa mendapatkan barang yang diinginkan. Kini, pemerintah sedang merancang agar pelaku e-Commerce agar membayar pajak. Banyak pihak yang menganggap jika yang disasar hanya pedagang e-Commerce itu tidak tepat.
Peraturan yang dimaksud Yakni tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik (e-Commerce). Banyak yang merasa bahwa hal itu tidakadil, apa lagi pemerintah akan menjadikan penyedia jasa marketplace menjadi agen yang menyetorkan PPh dari pengguna yang berdagang di marketplace.
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) merasa ada beberapa poin dalam aturan tersebut yang menjadi hal yang memberatkan bagi pelaku E-commerce. Meskipun aturan tersebut masih sebuah draf, namun pelaku E-Commerce yang tergabung di idEA mendapatkan beberapa poin yang menurutnya sangat berat untuk dilakukan.
Walaupun pada 24 Januari 2018, pihak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan telah mengundang idEA untuk berdiskusi mengenai draf Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tersebut.
Karena masih berupa draf, sehingga isi dari RPMK tersebut belum begitu jelas. Namun, idEA merasa bahwa draf rancangan tersebut hanya fokus mengatur perdagangan E-commerce dengan model bisnis marketplace. idEA meminta pemerintah pun menarik pajak dari penjual online yang ada di media sosial.
Tiga Poin yang Menjadi Keberatan idEA
- Setiap penjual di marketplace diharuskan untuk mempunyai NPWP. Jika penjual tidak memiliki, maka pihak marketplace harus memberikan NPWP virtual. Namun, aturan ini tidak berlaku pada pedagang online di media social seperti Facebook dan Instagram.
- Menetapkan pajak E-Commerce sebesar 0,5 % bagi pedagang di marketplace yang memiliki omzet Rp 4,8 miliar dalam satu tahun. Hal ini berpotensi mempersulit pekerjaan mereka dan meningkatkan biaya, serta harus membangun infrastruktur teknologi, sehingga hal ini dianggap bisa menghambat pertumbuhan mereka.
- Mengharuskan marketplace untuk menjadi agen penyetor pajak. Pihak marketplace diminta untuk menerbitkan faktur pajak untuk setiap transaksi yang terjadi.
Ketiga poin dalam rancangan tersebut adalah hal-hal yang memberatkan bagi pelaku e-Commerce model bisnis marketplace. Mereka (idEA) berharap bisa berdiskusi dahulu sebelum rancangan draf tersebut diterbitkan oleh kementerian Keuangan.
Hambatan Jika Marketplace Jadi Agen Pajak
Pihak marketplace merasa keberatan jika mereka harus menjadi agen pajak bagi pemerintah. Keberatan mereka cukup beralasan, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Bidang Pajak Bima Laga seperti yang dikutip dari Beritagar.id. “Semua beban diberikan kepada E-Commerce. Kami mengumpulkan datanya, kami yang memungut uangnya, dan kita juga yang menyetorkan datanya,” katanya yang menjabat sebagai ketua Bidang Pajak Cybersecurity Infratsruktur idEA ini. Dimana kesemua itu memiliki cost tersendiri.
Selain itu, ada hambatan lain jika pihak marketplace menjadi agen pajak. Salah satunya mengenai model bisnis marketplace sangat beragam. Ada marketplace yang menyediakan platform transaksi sehingga jumlah transaksi yang terjadi tercatat dengan jelas. Namun ada pula marketplace yang hanya menjadi forum penawaran saja, yang tidak diketahui jumlah transaksinya. Baik jumlah barang maupun uangnya.
Nota keberatan lainnya yakni seperti yang sudah disebutkan di atas. Bahwa pedagang bisnis online tidak hanya menjajakan barang dagangannya di marketplace saja. Menurut survei yang dilakukan idEA hanya 16 % pedagang online yang menjajakan barang dagangannya di marketplace. Sementara 59 % berdagang melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama keputusan mengapa hanya pedagang online di marketplace yang ditarik pajak, karena hanya marketplace yang saat ini bisa dijangkau lantaran karakteristik dan bisnisnya. Karena berbeda-beda dari masing-masing channel jualan secara online.
“Kami lebih tekankan kepada e-Commerce yang melalui marketplace, karena itu yang paling applicable untuk saat ini,” terang Yoga seperti yang dikutip dari Bisnis.com.
Alasan E-Commerce Jadi Incaran Pajak
Berdasarkan data lembaga survei internasional e-marketer di awal tahun 2017, penetrasi pengguna internet mencapai angka 132,7 juta orang di Indonesia dengan 106 juta merupakan pengguna media sosial. Sekitar 24,7 atau 9 % dari pengguna internet sudah pernah melakukan pembelian melalui channel e-Commerce.
e-marketer juga memproyeksikan bahwa pada 2018 ini nilai perdagangan e-Commerce Indonesia berada peringkat 6 di kawasan Asia Pasifik dengan pertumbuhan sebesar 10,92 miliar dollar AS atau setara Rp 147,4 triliun. Terlebih marketplace telah ‘mencuri’ porsi retail offline 3,5 % pada 2017, dan akan mencapai 4,8 % di tahun 2019. Berdasarkan hitungan kasar tim Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) nilai investasi e-Commerce di Indonesia mencapai angka US$ 4,8 miliar.
Dengan nilai perdagangan, dan investasi yang cukup besar dari bisnis melalui e-Commerce, maka pemerintah ingin menarik pajak dari bisnis darling. Terlebih bisnis e-Commerce ini telah melahirkan pengusaha-pengusaha baru di Indonesia di bidang digital. Kita lihat saja bagaimana sikap pemerintah apakah pajak di e-Commerce akan tetap diberlakukan atau tidak.
Apakah dengan berlakunya pajak di e-Commerce akan membuat pedagang-pedagang online tetap tertarik untuk berjualan di marketplace atau malah membuat mereka mencari chanel baru untuk berjualan secara daring. Kita tunggu saja!
Nikmati sensasi rasa unik Emkay Frizz Happy Sour! Jangan lewatkan kesempatan untuk memiliki liquid vape terbaik, pesan sekarang di emkay.id atau vape store terdekat!